Pages

Minggu, 15 Mei 2011

DEBT COLLECTOR

‘Profesi’ penagih utang (debt collector) akhir-akhir ini mendapatkan sorotan tajam dan sekaligus memancing kegeraman dari masyarakat menyusul peristiwa tewasnya seorang nasabah kartu kredit Citibank setelah berurusan dengan debt collector bank tersebut. Kritikan terhadap sepak terjang para debt collector yang sangat meresahkan tersebut tidak hanya muncul dari kalangan masyarakat biasa, melainkan telah mendorong para penyelenggara negara, termasuk kalangan legislatif dan otoritas moneter untuk bereaksi keras.
Debt collector adalah orang atau sekumpulan orang sebagai pihak ketiga yang dimintai jasanya oleh perbankan dan lembaga keuangan untuk menagih utang atau kredit yang bermasalah dari nasabahnya. Penggunaan jasa penagih utang ini sudah sangat lazim, bahkan bisa dikatakan menjadi bagian tak terpisahkan dari industri perbankan dan lembaga keuangan.


Namun masalahnya, kehadiran debt collector selama ini justru meresahkan nasabah. Dalam menjalankan tugasnya, para penagih utang ini seringkali mengabaikan asas kesopanan dan kepatutan, bahkan tidak jarang menjurus ke arah premanisme. Mereka kerap pula meneror dan mengintimidasi nasabah. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada 2005 menerima sekitar 2 ribu aduan pemilik kartu kredit, yang sebagian besar mengeluhkan perilaku tidak manusiawi dari para penagih utang saat nasabah tak membayar tepat waktu.

Budaya Berutang

Maraknya jasa debt collector ini diakui atau tidak sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari trend suka berutang dari sebagian masyarakat. Hal ini turut dipengaruhi oleh gencarnya iklan produk baru dari para produsen dan juga kemudahan untuk memilikinya melalui fasilitas kredit yang ditawarkan penjual (retailer) yang bekerjasama dengan bank atau lembaga keuangan lainnya. Iming-iming discount, bebas uang muka dan bunga cicilan yang ringan seringkali berhasil memikat hati calon konsumen untuk membeli terlepas apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau sekadar untuk memuaskan hasrat berbelanja belaka.
Konsumen yang tidak bisa membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want) seringkali terjebak dengan tuntutan untuk membeli produk-produk baru dan larut dalam pola hidup hedonisme dan konsumerisme alias mengikuti ‘trend pasar’. Celakanya, karena uang di tangan tidak mencukupi, mereka pun memilih berutang atau mengajukan fasilitas kartu kredit. Memiliki kartu kredit lambat laun dipandang sebagai prestise atau gengsi. Selanjutnya, memiliki utang tidak lagi dianggap aib, malah menjadi gaya hidup sebagian masyarakat modern. Tentu saja, ini merupakan sebuah gaya hidup yang menjebak dan dapat menjerat pelakunya sendiri.
Di Indonesia, menurut data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), hingga akhir 2010 jumlah kartu kredit yang beredar sebanyak 13,8 juta yang dimiliki oleh 6,5 juta nasabah. Artinya, rata-rata setiap nasabah memiliki 2 kartu kredit. Jumlah ini baru terbatas bagi pemilik kartu kredit saja, sedangkan yang berutang tanpa menggunakan kartu kredit, seperti berutang untuk pembelian rumah, kendaraan, perabot rumah tangga dan lain-lain, tentu jumlahnya lebih banyak lagi. Banyak di antara mereka yang berutang hanya sekadar untuk terlihat ‘gaya’ atau ‘gengsi’ dalam pandangan orang lain, seperti berutang untuk membeli handphone atau baju baru. Lebih parah lagi, ternyata fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di masyarakat perkotaan saja, tetapi juga telah merambah hingga masyarakat di pedesaan.

Bahaya Riba

Ideologi materialisme dan kapitalisme tampaknya sudah merasuki gaya hidup masyarakat kita yang pengaruhnya sangat merusak sendi-sendi berpikir dan bersikap. Gaya hidup masa kini ditambah dengan berbagai problematika kehidupan yang membelit membuat kita seolah tak bisa lepas dari praktik berutang dalam beragam bentuknya sampai-sampai muncul ungkapan “siapa sih yang bisa hidup tanpa utang?”
Berutang dalam Islam pada dasarnya tidak dilarang. Namun tentu saja pilihan tersebut harus betul-betul dipertimbangkan mudharat dan manfaatnya (risk and benefit). Berutang diperbolehkan sepanjang ada alasan yang bisa diterima, seperti untuk kebutuhan primer, bukan kebutuhan sekunder apalagi tersier. Berutang juga boleh dilakukan untuk mengembangkan usaha. Kedua hal tersebut dapat dijadikan alasan berutang dengan catatan si pengutang bersungguh-sungguh hendak membayar utangnya kelak dan dengan perhitungan cermat bahwa ia mampu membayar utang tersebut.

Jika diperhatikan lebih jauh, sebagian besar skim utang piutang saat ini masih menggunakan instrumen bunga (interest) yang diharamkan karena merupakan bagian dari praktik riba. Kerusakan dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh riba sudah amat jelas dengan terjadinya rentetan krisis dan instabilitas perekonomian sepanjang sejarah. Helmut Schmidt, mantan Kanselir Jerman, menyatakan bahwa “perkonomian dunia telah memasuki fase instabilitas yang sangat parah dan masa depannya sangat tidak menentu”. Sementara itu, Henry Kissinger, tokoh penting penentu kebijakan Amerika Serikat era 70-an mengakui bahwa perekonomian dunia, setelah melalui masa-masa inflasi tingkat tinggi dan menyakitkan, telah mengalami resesi mendalam dan laju pengangguran yang belum pernah terjadi sebelumnya dan dibarengi dengan laju suku bunga riil yang tinggi dan fluktuasi valuta asing yang tidak sehat.

Penerapan sistem riba memungkinkan penggelembungan nilai pokok utang seiring dengan perputaran waktu, walaupun pada realitasnya tidak ada pertumbuhan di sektor riil. Sistem ribawi ini bahkan tetap tumbuh kendati sektor riil mengalami depresi sehingga mengakibatkan munculnya kesenjangan yang tajam antara sektor riil dan sektor moneter. Implementasi sistem ribawi telah memisahkan (decoupling) kedua sektor perekonomian ini. Padahal, kedua sistem ini seharusnya bergerak secara seirama dan integratif. Inilah yang menjadi penyebab dari semua krisis moneter di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang berujung pada krisis ekonomi dunia.
Dalam al-Quran, peringatan untuk menghindari riba disampaikan secara amat lugas dan keras. Al-Baqarah: 275 menyebutkan, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Masih di ayat yang sama, Allah berfirman, “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Namun orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni neraka dan berada kekal di dalamnya”.

Efek destruktif riba juga telah jauh-jauh hari diperingatkan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Sesungguhnya satu dirham yang diambil dari riba itu dosanya lebih besar di sisi Allah daripada (dosa) 36 kali zina yang dilakukan seseorang” (HR. Ibnu Abi Dunya). Dalam hadits lain, beliau tegaskan, “Riba itu mempunyai 72 pintu, dan yang paling rendah dosanya, seperti seseorang menyetubuhi ibunya” (HR. Thabrani). Na’udzubillah.
Dengan menjauhi utang piutang, maka kita dapat terhindar dari jeratan riba. Rasulullah pun memperingatkan kita agar menjauhi kebiasaan berutang karena secara psikologis berutang menjadi sumber stres, rasa sedih di malam hari dan rasa hina di siang hari (hammun billaili wa madzallatun binnahaari). Dengan menghindari utang, maka tentu kita tidak akan lagi mendengar cerita tentang kekasaran debt collector kepada nasabahnya.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah mengajarkan doa agar terhindar dari lilitan utang (ghalabatuddayn) dan tekanan kesewenang-wenangan manusia (qahrirrijaal). Hubungan antara utang dan tekanan orang lain, baik psikis maupun fisik, terlihat sangat jelas dalam kasus debt collector. Maka, agar dapat keluar dari lingkaran setan budaya mengutang, Rasulullah memberikan jalan keluar, yaitu dengan meningkatkan rasa syukur dan merasa cukup (al-ghina atau qona’ah) dengan apa yang diberikan-Nya. Keinginan untuk terus berutang pada hakikatnya adalah penyakit hati yang hanya dapat disembuhkan dengan perbaikan dalam manajemen hati, yaitu mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan kesyukuran. Wallahu a’lam.

Oleh: Moch. Arif Budiman (Dosen Prodi ALKS Politeknik Negeri Banjarmasin)

0 komentar:

Posting Komentar